Rabu, 24 November 2010

Tulisan Catatan Harian si Nopi


CATATAN HARIAN SI POPY
by Donatus A. Nugroho & Effendy Wongso
BAB 1
BUKU INI AKU PINJAM 
Maka bersukacitalah hati Popy manakala bel pulang berbunyi. Dia berdiri paling awal, karena sejak tadi dia telah mengemasi bawaannya ke dalam tas. Maka melesatlah dia keluar kelas paling depan, ketika Pak Guru masih mengemasi buku-bukunya. Ida dan Enya yang sedari tadi melihat gelagat mencurigakan, segera menyusul Si Kacamata.
"Gila! Nggak mungkin kamu siang ini mendadak punya kencan sama Ramayana. Nggak mungkin!" Enya menyerbu dengan ekspresi rada sewot.
"Di dunia ini banyak hal yang mungkin. Apa sih, istimewanya Rama?" Popy mengerling penuh kemenangan. Matanya mengerdip, membuat kacamatanya makin melorot. Kalo sudah begini, tampang Popy jadi makin lucu, antik dan sebenarnya ngegemesin.
"Asyik!" seru Ida ikut-ikutan girang. "Ada apa sebenarnya di antara kalian? Atau diam-diam kalian udah menjalin setori di luar sepengetahuan kita?"
Tokoh kita cuma nyengir penuh kemenangan, bikin Enya makin senewen. Kencan sama Ramayana? Huh! Itu adalah setori paling dahsyat abad ini! Si Kacamata kencan sama Demetrio Albertini adalah berita yang bisa bikin geger seantero Bintang Kejora. Dan itu adalah ancaman bagi Enya yang selama ini merasa punya kelas di atas Popy.
"Ayolah. Kalian boleh menemaniku...."
"Bilang aja kamu nervous," ejek Enya.
"Maklum, mau ketemu pangeran. Catet, ya. Siapa kuaat?" Ida masih ingin membela teman kurusnya. Tapi tujuan utamanya adalah membikin panas hati Enya. Puas rasanya.
Gapura Bintang Kejora adalah satu-satunya pintu keluar. Di situlah Rama memutuskan untuk ketemu Popy. Dan Popy bersyukur dengan pilihan itu. Jika seluruh penghuni SMA Bintang Kejora melihatnya, betapa....
"Mana bukunya?"
Popy yang paling tercekat, manakala tiba-tiba Ramayana muncul dari balik gapura. Ida dan Enya cuma berusaha nampak cuek. Ternyata jagoan basket nan tampan itu telah terlebih dahulu menunggu Popy.
Seperti robot layaknya, Popy merogoh tas sekolahnya dan mengangsurkannya pada Rama.
"Komplit?"
"Apanya?"
"Catatan kamu...."
Popy mengangguk.
"Aku bawa, ya...."
Popy hanya mengangguk lagi.
Lalu sudah. Lalu Rama berlalu tanpa menoleh lagi. Lalu terdengar tawa mengikik.
Tawa Enya, juga Ida.
"Kirain apa, nggak taunya cuman mau pinjem buku. Boleh nggak aku ke rumah kamu...? Kapan kamu mau nonton bareng aku...?"
Popy membuang muka cepat-cepat, lalu cepat-cepat pula memandang ke arah Enya lagi. Dia tertawa. Semula pelan lantas makin berkepanjangan.
"Kalian pikir apa? Emang Rama cuman mau minjem catetan biologiku buat di-kopi." Popy masih tertawa, seolah puas karena sudah bisa ngerjain konco-konconya. Padahal....
***
Setibanya di rumah, Popy kehilangan napsu makan siangnya. Memandang mangkuk berisi sayur bening, terbayang lagi semua adegan di gapura tadi. Apa yang bisa dibayangkan? Nggak ada sikap manis yang ditunjukkan Rama. Pun sekedar basa-basi penyedap permintaan tolong. Nggak ada adegan yang pantas dibanggakan. Buktinya, Enya dan Ida menertawainya. Cuma untungnya Popy cukup cerdik untuk nggak mempermalukan dirinya sendiri.
Popy nggak kesal-kesal amat. Nggak juga merasa pantas untuk marah. Dia cuma menyesalkan sikap Rama. Tidakkah dia diajari sopan santun untuk berterima kasih?
Popy masih melamun, hingga terlambat menyadari kehadiran Guruh. Tumben adiknya yang semata wayang ini pulang tepat waktu. Biasanya Guruh selalu terlambat dengan alasan yang nggak ada habisnya. Yang belajar di rumah Tori-lah, yang mampir dulu ke rumah Om Faisal (padahal enggak! Guruh nggak pernah bisa cocok sama adiknya bokap itu), atau alasan lain yang bikin nyokap pusing kepala. Cowok kelas 3 SMP ini paling pinter bikin alasan.
"Hari ini temen-temenmu ngebosenin, ya?" Popy berbaik hati menyendokkan nasi ke piring Guruh.
Guruh diam.
"Kenapa?" desak Popy.
"Enggak kenapa-kenapa!" Guruh terlihat kesal. "Emang nggak boleh, pulang on time?"
"Bukan nggak boleh, tapi malahan harus."
"Huuu, sok toku. Padahal kamu sendiri juga sering ngaret. Cuman bedanya, Nyo sama Bo percaya aja sama kamu."
"Aku anak yang bertanggung jawab, Ruh...."
"Nggak adil!"
Popy tersenyum puas.
Guruh memberenggut. Cowok bongsor (dan jagoan berantem) itu mulai menikmati makan siangnya.
"Tau nggak, kenapa aku pulang jam segini?"
"Iya, kenapa?"
"Jangan diketawain, ya?"
"Janji!"
"Aku kangen, Pop."
Popy terhenyak.
"Rasanya udah lama banget kita nggak makan bareng semeja kayak begini. Maksudku cuma kamu sama aku... dan kamu melayani aku..."
Popy merasakan tenggorokannya tersumbat.
"Kayaknya udah tahunan kita nggak makan bareng seperti ini. Terakhir kalinya kapan, Pop?"
"Tauk...."
"Aku ingat. Dulu pas Bo sama Nyo nungguin Eyang di rumah sakit."
"Itu tiga tahun yang lalu, kan? Kamu masih kelas enam?"
"Persis. Lama, ya?"
Popy tercenung. Dia mendadak merasakan dadanya sesak. Pengakuan Guruh bahwa dia kangen padanya membuatnya terharu amat sangat.
Popy mengacak rambut Guruh dengan lembut. Ada airmata mengambang di pelupuk matanya, tapi Popy malu jika Guruh melihatnya.
Catet! Begitulah tokoh kita yang kelak akan selalu kita rindukan ini. Biar pun di luar nampak cuek dan funky, dia menyimpan kelembutan dan kepekaan yang cukup tebel. Di balik sikap tegarnya, Popy sebenarnya tergolong manusia yang gampang banget menangis.
Sejak Popy merasakan getar bahagia di dadanya. Membuatnya lupa bahwa dia telah dikecelekan oleh sikap Rama. Tali persaudaraan memang jauh lebih murni. Jauh lebih tulus dan mengalahkan hal apapun di dunia ini.
Airmatanya bergulir tanpa dapat ditahannya. Runtuh sudah jaimnya, dan membiarkan bulir kayak intan tersebut menempel di pipinya.
***
Tapi ngelupain Ramayana seratus prosen memang nggak gampang. Buktinya sekarang sudah jam 00.35 WIB, Popy belum juga bisa tidur. Popy cuma membolak-balik badan di ranjangnya. Bete berat doski. Ada setumpuk komik Spiderman di atas meja, tapi semua sudah dihapalnya. Lagian malam ini Popy lagi kehilangan napsu membaca. Yang ada cuma napsu untuk... melamun.
Dan ngelamunin Rama memang asyik.
Bahkan lamunan Popy sampai ke lamunan-lamunan yang norak semisal: Rama tengah ngelonin buku catatan biologinya. Tapi yang paling diharapkan Popy adalah: ada sebuah puisi (atau surat cinta?) yang tengah disempurnakan oleh Rama, lalu akan diselipkannya di buku itu.
Amboi....
Apa pun yang terjadi besok, Popy sudah menyiapkan sekian rencana.
***
Popy mengayuh sepedanya pelan-pelan. Dia lagi nggak menginginkan angin kecang meriap-riapkan rambutnya yang sebahu itu. Pasalnya, pagi ini sang rambut sudah mendapatkan perlakuan khusus. Sudah dikeramas dan dibilas empat kali. Sudah di-conditioner dua kali, dan terakhir sudah disisir serapi mungkin dengan bantuan hair dryer untuk menemukan tatanan terbaik.
Pagi ini Popy emang sengaja tampil lain dari hari-hari biasanya yang cenderung apa adanya. Dia memakai minyak wangi, memakai baju seragam paling putih, dan memakai lipstik!
O, ooo, lipstik. Catet! Emang sih, Si kurus ini nyaris nggak pernah pakai lipstik kecuali pas datang ke pesta. Tapi khusus pagi ini, Popy beranggapan bakal ada acara yang lebih penting daripada sepuluh pesta. Ketemu dan berhadapan dengan Rama kali ini, dengan sengaja dan terencana, Popy ingin tampil sebagai cewek seutuhnya. Cewek yang lebih suka terlihat cantik dan feminin.
Seperti biasanya, Popy nggak langsung masuk ke sekolah, melainkan mampir dulu ke Kafe Salepo. Ritual pagi hari bersama ketujuh sohib kentalnya. Dia sengaja datang mendahului, tapi ternyata di warung Pak Salepo itu Baron dan Agus Prawit sudah terlihat duduk berhadapan mengisi TTS di suratkabar. Mereka berdua langsung menoleh ketika Popy baru saja menginjak ambang pintu warung. Dan seperti Popy duga, mereka langsung terperangah.
"Tumben kamu jadi perempuan?!" Baron tertawa.
"Nyokap ulang tahun." Popy asal menyahut.
Baron dan Agus Prawit saling memandang. Apa hubungannya?
Popy bertepuk, mencari perhatian Pak Salepo yang tengah memasang taplak di meja sudut. Isyarat bahwa Popy menghendaki menu khsusunya.
Baru saja Popy duduk di samping Baron, Adek Si Tukang Gambar muncul dan langsung menghampiri Popy.
"Pop, ada titipan."
Popy langsung ngeh dengan apa yang terjadi. Adek membawa catatan biologinya. Catatan yang kemarin dipinjem Rama.
Popy dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi menerima bukunya dan seperti nggak sengaja membuka setiap lembarnya.
Nggak ada apa-apa. Nggak ada selembar kertas, apalagi sampul surat yang terjatuh.
"Rama pesen apa?"
"Nggak apa-apa. Cuman minta tolong aku ngembaliin bukumu."
"Cuman begitu?"
Adek mengangguk.
"Doi nggak bilang kenapa nggak bisa mulangin sendiri?"
Adek menggeleng.
Popy menghela napas panjang tanpa kentara. Setelah itu dia berdiri.
"Mau kemana Pop?" tanya Agus Prawit.
"Mau setor dulu. Perut mendadak mules, nih."
Untunglah mereka bertiga nggak curiga sama sekali. Lain persoalannya jika saat ini ada Enya dan Ida. Duet kedua cewek itu bakalan meriah. Bisa-bisa Popy tengsin setengah mati untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.
Popy nggak ke kamar kecil, melainkan ke toilet di belakang warung. Di situ dia mulai mengacak-acak rambutnya dan menghapus lipstiknya. Ini sebuah keputusan yang cepat yang amat tepat, sebelum Si Artis dan Si Ganjen memergoki dan menyadari semuanya.
Sambil berkaca dan menenangkan hatinya, Popy mulai membuat perhitungan. Kejadian ini adalah pelajaran. Bahwa terkadang apa yang terjadi sama sekali meleset dari yang diharapkan. Dia memang kecewa. Tapi dia lebih menyesalkan Ramayana. Alangkah sayangnya cowok setampan Rama punya kepribadian yang minus. Betapa enggak?
Yang jelas, hari ini Popy punya catatan khusus tentang Rama. Cowok mirip Demetrio Albertini itu perlu belajar etika. Cuwek boleh-boleh aja, tapi etika kudu punya. Siapa yang akan mengajarinya? Entahlah.
Lima menit cukuplah sudah untuk mengembalikan sosok Popy seperti apa adanya. Maka ketika beranjak dari toilet, yang terlihat adalah sesosok cewek funky nan cuwek berambut sebahu, mengenakan kacamata yang seolah ogah-ogahan bertengger di atas hidungnya.
Dengarkan, dia sudah bisa bersenandung pelan nyaris tak terdengar:
Buku ini aku pinjam....
'kan kutulis sajak indah....

Gombal!
***
(Popy patah hati? Enggak dong. Catet! Kita kan udah mulai ngerti kayak apa sebenarnya tokoh kita ini. Doi tabah, man!).
BIODATA PENULIS
Donatus A. Nugroho, memulai debut karirnya menjadi penulis remaja paling produktif saat ini berangkat dari idealismenya menolak diangkat sebagai pegawai negeri di akhir tahun delapan puluhan. Ia lantas lebih memilih terjun di dunia yang dicintainya, menulis. Lahir di Solo, Salatiga, Jawa Tengah, penulis ini mengukuhkan dirinya sebagai pengarang handal dengan meraih puluhan penghargaan sebagai juara pertama di LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang, GADIS, MODE, ANEKA YESS!, Ceria Remaja, Planet Pop, dan masih banyak media nasional lainnya. Saat ini novel-novelnya sudah banyak diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Erlangga, DAR! Mizan, Lingkar Pena, Puspa Swara, dan banyak lagi penerbitan lainnya. Catatan Harian Si Popy merupakan karya order solonya untuk majalah Planet Pop, yang kemudian direvisi dan diterbitkan di cafenovel.com bersama Effendy Wongso. Selain menulis, ia paling senang berburu dan mengoleksi kaset-kaset lawas. Bersama Zara Zettira Zr., ia pernah tercatat sebagai Redaktur Istimewa di majalah Planet Pop, Jakarta (1999-2000)
Penulis yang senangnya berkutat di dunia remaja hingga sekarang ini lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 13 Juni 1980, Effendy Wongso menghabiskan masa-masa remajanya untuk menulis. Cerpen-cerpennya sudah tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut sekaligus sebagai salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998) dan pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000).


0 komentar:

Posting Komentar

 

HoneyHenny © 2008. Design By: SkinCorner