THE MOFFATTS DIARIES:
There's Something About Denise
by Effendy Wongso & Gita Nuari
CHAPTER I:
A NEW BEGINNING
"Hai, Elvis," sapanya saat menemukan Scott-seperti juga saudaranya, Scott pun memiliki nama panggilan, Elvis-yang sedang bersimpuh di dekat tirai dan memandang keluar jendela.
"Mereka benar-benar tahan banting, ya?" Scott menggeleng-geleng. "Mereka ada di sana sejak pagi tadi, dan sekarang hampir sore. Tahu tidak Bob, cewek-cewek itu sudah menyanyikan semua lagu di album 'The Moffatts, Chapter I'. Terus, 'Tour Souvenir Package'. Aku saja pasti bakalan tidak tahan. Jingkrak-jingkrak sambil nyanyi dua jam di konser saja capeknya minta ampun."
"Mungkin mereka ingin membuktikan kalau mereka tuh, cinta kita," sahut Bob.
"Yeah right."
"Jadi terharu, nih," Bob ikutan menggelengkan kepala. Dia berjalan menghampiri Scott.
Tiba-tiba Scott teriak. "Watch out!"
Namun peringatan itu terlambat. Anggota keluarga Moffatt paling jangkung itu tersangkut gitar akustik milik kakaknya. Dia jatuh tersungkur!
"Aku bilang kan hati-hati! Wah, untung kamu jatuhnya tidak tepat di atas gitarku. Kalau tidak...." Scott tidak meneruskan kalimatnya.
Bob mengamati gitar itu. Dongkol bukan main. Kalau Scott tidak berada di sini, pasti gitar itu sudah ditendangnya. Sebal. Satu set drumnya memang bikin kamar mereka jadi sumpek. Tapi gitar-gitar milik Scott yang lebih dari sepuluh biji itu benar-benar melahap tempat!
"Aku heran banget," Scott mulai bicara serius. "Setiap orang yang masuk kamar kita pasti kesandung. Bukan salah gitar-gitarku, kan? Benda itu tidak punya mata. Jadi, seharusnya orang-orang yang masuk ke sini yang harus melihat karena merekalah yang punya mata. Dad berkali-kali tersandung. Dave dua kali. Lalu, Mom Sheila! Aku kasihan sekali pada Mom. Nyaris setiap hari dia jatuh kalau masuk ke sini. Terus kalau sudah begitu, dia bakalan ngomel-ngomel. Seharusnya dia kan hapal tempat-tempat gitarku berada, jadi tidak kesandung lagi."
"Hapal tempat-tempat?" Bob mendelik. "Huh, caapee deh! Bagaimana bisa hapal kalau setiap hari posisinya terus berubah-ubah. Bahkan, aku sendiri yang setiap malam tidur di sini masih sering tersandung. Bisa tidak sih kamu atur atau kamu taruh di dalam gudang. Jangan berserakan begini, dong!
"Gu-gudang?! Enak saja! Memangnya barang rongsokan apa?! Gitar-gitar ini rohku! Tahu tidak?!"
"Huh," keluh Bob sambil duduk di hadapan Scott. "Bukan rohmu, tapi monster bersenar pengganggu kenyamanan orang!"
"Tapi ini kan kamarku, Duke. Aku punya hak untuk meletakkan gitar-gitarku di sini," bela Scott tidak mau kalah.
"Ya sudah, besok aku taruh lima set drum di sini. Ini kan kamarku juga. Terus sekalian saja kita resmikan jadi toko alat musik."
"Not funny," sahut Scott.
Scotty sih tahu dia tidak bakalan pernah menang adu mulut sama Bob. Bob itu sudah pakar. Bagaimana tidak kalau setiap ketemu kembaran identiknya yang bernama Clint itu pasti terjadi adu debat.
"Wah, suara mereka lumayan juga," Bob bergumam kagum saat melihat pasukan cewek di luar dengan riang menyanyikan 'Girl, I'm Gonna Get You'. Tapi kali ini mereka menggubahnya jadi 'Boys, we're Gonna Get You'. "Kita bisa pakai mereka jadi backing vokal kapan-kapan," usulnya.
"He-eh," Scott mengiyakan. "Tapi nanti kalau kita buat lagu dengan sentuhan musik gospel."
Bob berbalik. "Eh, kita belum selesai bicara soal gitarmu. Supaya tidak menuh-menuhin kamar, lebih baik kamu berikan pada salah satu cewek di sana. Cewek itu bakalan bahagia sepanjang hidupnya. Dan kamu juga bakal dapat pahala selama tuh cewek merasa bahagia," ujarnya nyinyir.
"Cuma-cuma?!" tanya Scott.
"Jangan berprasangka buruk dulu. Tentu saja bukan digratisin. Aku juga tidak setuju kalau gitar-gitarmu itu digratisin. Cari penyakit. Mereka pasti akan berebutan dan dorong-dorongan kalau begitu. Salah-salah cedera karena keinjak-injak. Kasihan, kan?" Bob menjelaskan.
"Ya, benar juga sih," sahut Scott mafhum. "Jadi, mesti bagaimana dong?"
"Bagaimana kalau dijual saja."
Scott melotot. "Teganya bilang begitu! Tidak akan pernah kujual gitar-gitarku ini!" tolaknya histeris.
"Easy, easy boy!" Bob menenangkan. "Maksudku, dijual dengan cara lelang. Semacam sumbangan begitu."
"Sumbangan?"
"He-eh. Untuk anak-anak terlantar."
"Apa ada anak terlantar butuh gitar? Untuk apa? Apa mereka mau bikin grup band seperti The Moffatts?"
"Bego!" Bob rada sewot. "Itu cuma kata kiasan. Bentuk amal kan, macam-macam. Caranya, tentu saja dengan menjual gitarmu kemudian uangnya baru disumbangkan. Hasilnya, bisa bantu banyak orang."
"Tapi, aku sayang gitar-gitarku," tolak Scott.
"Ayolah. Sumbangin satu-dua gitar kan bukan berarti kiamat bagi The Moffatts," Bob masih berusaha membujuk.
Scott masih ragu. Dia menimbang-nimbang.
"Kemarin aku ikutan rapat yang diselenggarakan oleh salah satu badan PBB, UNICEF," ujar Bob sembari mengusap salah satu gitar Scott yang menyender di dinding kamar.
"Rapat?"
"He-eh," Bob mengangguk, dipetiknya iseng senar gitar itu sehingga mengalun berisik. "Rapat kecil-kecilan."
"What for?"
"Makalahnya membahas tentang anak-anak terlantar. Pengurus teras yayasan bilang, sebagian anak-anak di seluruh dunia kekurangan sandang dan pangan. Juga tempat tinggal dan pendidikan. Betul-betul menyedihkan."
"Oya?"
"Iya. Tahu tidak, mereka harus bekerja keras untuk membiayai hidup. Mengorbankan masa kanak-kanak mereka demi sesuap nasi, bekerja siang dan malam. Kita mah, jauh lebih beruntung."
"Kasihan banget, ya?"
"Sure. Aku yakin seribu persen anak-anak itu tidak suka pekerjaan yang mereka lakukan. Di antaranya ada yang menjadi kuli buruh bangunan dan pertambangan. Malah, ada di antara mereka dijadikan pelacur anak. Eh, aku tidak bohong lho, Scotty. Dalam rapat itu, kita diperilhatkan slide-film tentang 'anak-anak terlantar' itu. Duh, sengsaranya!"
"Tapi...."
"Aduh, Scotty! Kamu jangan bimbang begitu, dong. Pokoknya, kita harus menolong mereka."
"Di mana Clint dan Dave?" tanya Scott.
"Eit, jangan lari dari masalah. Kamu belum memberi kepastian tentang rencanaku itu!"
"Siapa yang lari? Aku nyari kedua anak itu justru untuk minta pendapat. Lebih banyak suara kan, lebih baik."
"I hope. 'Feed The Children' akan senang jika kamu menjual gitarmu. Mungkin dengan cara lelang, lantas hasilnya buat amal. Ayolah, Scotty. Ini proyek amal besar. Aku bakalan sangat berterima kasih."
Scott menggeleng-geleng. Dia masih ragu. Gitar-gitar itu sudah menyertainya sejak terbentuknya The Moffatts. Sewaktu corak musik mereka masih country, belum pop-rock seperti sekarang.
Bob masih belum menyerah. "Bagaimana, Scotty? Lelang! Lelang! Lelang!"
"Kamu mirip suporter kesebelasan sepakbola, deh," ledek Scott. "Tukang sorak! Pom-pom girls! "
Bob mengatupkan kedua belah telapak tangannya ke dada. "Please?"
"Kalau dipikir-pikir memang tidak ada salahnya, sih. Kehilangan satu gitar untuk kebahagiaan orang lain bukanlah kiamat."
"So, apa yang kamu pikirkan lagi?"
"Tapi, aku bukan siapa-siapa. Maksudku, apakah ada orang yang akan menawar gitarku dengan harga tinggi? Mimpi kali, yee! Kecuali jika aku salah satu anggota The Beatles."
"Don't worry. Hei, ingat fans cewek yang datang kemarin? Dia malah mau menawar baju-baju bayinya Dave dengan tujuh ratus dolar. Itu baru baju bayi, lho. Sudah buluk bau pula. Tapi gitarmu? Yah, walaupun banyak kumannya karena kena peluk ketek melulu tapi masih terawat baik, kok."
Kali ini Scott memilih untuk tidak membalas ledekan Bob. Tidak ada gunanya. Ya, karena hal itu tadi. Dia tidak bakalan menang dengan lawan debatnya Clint itu. Lagipula dia sedikit terhanyut oleh ajakan beramal Bob barusan. Dan merasa kagum atas jiwa sosialnya yang paling menonjol di antara anggota The Moffatts.
"Yeah, that's a great idea. Tapi satu buah gitar saja, ya? Yang listrik, jangan akustik. Gitar akustikku cuma sedikit. Yang ini? Jangan, ini gitar yang diberikan teman Dad. Ini juga jangan, soalnya ini gitar yang kubeli pertama kali dengan uangku sendiri. Yang ini bersejarah...."
"Kalau nyumbang harus ikhlas, tahu!" teriak Bob saking tidak sabaran.
"I know," jawab Scott.
Bob menunggu keputusan Scott sekitar lima menit. Ternyata dia malah kesal sendiri melihat Scott berbicara sana sini menceritakan kenangannya dengan gitar-gitarnya itu satu demi satu. Akhirnya Bob berdiri sambil garuk-garuk kepala.
"Kurasa, aku lebih baik keluar saja!" ucapnya lirih sambil berjalan menuju pintu. Kali ini dengan langkah berjingkat-jingkat dan mata yang dibuka lebar-lebar supaya tidak kesandung oleh gitar-gitar saudaranya lagi.
"Kamu punya lima belas menit untuk pilih gitar mana yang akan dilelang. Jika sudah selesai, hubungi segera Robert Franklin Peter Moffatt. Mengerti?" katanya lagi sambil meninggalkan Scott cepat-cepat. Ditutupnya pintu kamar mereka yang ditempeli poster Kurt Cobain pada bagian belakangnya.
"Kenapa jadi dia yang ngatur?" Scott ngedumel.
Bob berjalan ke ruang tengah. Dilihatnya saudara kembarnya, Clint dan Dave, duduk di depan TV bermain Playstation. Hal itulah yang mereka lakukan jika bebas dari jadual-jadual formal konser serta kegiatan show lainnya.
Ada pekikan seperti biasa. Clint mulai lagi berulah dengan teriakannya yang khas 'Kyaa' itu. Uh, crazy boy! Bob menggeleng kepala sembari melenguh keluh seperti suara sapi.
"Kyaa! Aku menang lagi!"
Dave membanting stik kontrol Playstation-nya. Dia sudah melawan Clint enam kali, tapi tidak satu babak pun dimenangkannya.
"Kamu kebanyakan curangnya, CT," umpatnya kesal.
"Kyaa, hahaha! Sudah deh, Dave. Mengaku kalah apa susahnya, sih? Ini cuma game. Heh, bagaimana bisa main curang?"
"Tapi...."
"Kecuali jika kita benar-benar main sepakbola di lapangan, nah baru kamu bisa bilang aku curang karena men-tackle-mu keras dari belakang."
"Bagiku, di lapangan atau TV sama saja," bantah Dave membela diri.
"Mau melawanku, Bob?" ajak Clint-Clint biasa dipanggil CT yang merupakan singkatan dari nama lengkapnya, Clinton Thomas-pada Bob dengan menaikturunkan alisnya begitu melihat sosok jangkung adik kembarnya itu berdiri di bawah bingkai pintu.
Bob menggeleng tanpa selera. Percuma main game dengan saudara kembarnya yang satu ini. Konsentrasi mainnya pasti buyar melayang mendengar teriakan khas Clint yang lebih riuh ketimbang ketel uap itu.
Clint meraup segumpal kacang mede gorengan ibu tiri mereka-Mrs. Sheila, dan memasukkannya satu-satu ke mulutnya dengan gerakan cepat.
"Akulah pemain terbaik di keluarga kita. Akui saja. Kyaa, hahaha!" akunya bangga sembari memasukkan lebih banyak kacang mede goreng ke mulutnya.
Bob ingin memperingatkan bahwa makan kacang sambil tertawa itu berbahaya. DANGER! Namun ternyata terlambat!
"Uhuk! Huk-ak-huk!" Clint terus saja terbatuk.
Bob dan Dave tersenyum geli. Clint memang reseh.
"Huk-uh-uk! To-tolong! Huk-huk!"
Bob menghampiri dan bertanya. "Kenapa, Clint?"
"Dia tersedak," sahut Dave nimbrung. "Pukul punggungnya, Bob."
Bob menurut. Dia memukul bahu Clint berkali-kali dengan cukup keras.
"Kamu akan membunuhnya, Bob," seloroh Dave asal. "Itu sih pukulan petinju. Ya, pukul tengkuknya. Coba saja terus. Lima pukulan lagi pasti berhasil."
Ruang tengah benar-benar gaduh bin amburadul. Frank Moffatt; ayah, guru, sekaligus manajer mereka datang tergopoh-gopoh.
"What's the matter?" tanyanya kuatir.
"CT tersedak biji kacang," jawab Bob.
Mr. Frank melongo.
"Biji kacang?!" tanyanya kaget. "Astaga!"
Clint masih saja terbatuk. Satu tepukan keras ayah mereka melegakan tenggorokannya.
"Dad! Bob dan Dave berniat membunuhku!" adu Clint sembari memegang lehernya. Karena kebanyakan batuk, suaranya jadi parau. Mukanya pucat dan belum bisa ngomong apa-apa.
"Gawat," Dave mendekati kakaknya yang sulung dari kembar tiga itu. "Clint tersedak kacang dan tidak bisa bernyanyi untuk tur keliling Amrik kita!"
"Aku sudah beritahu kalian, jangan banyak makan makanan berisiko. Sekarang bagaimana?" Pak Frans jadi panik.
"Jelas-jelas dia tidak bisa jadi lead vocal lagu 'I Think She Likes Me'," goda Bob. Jahilnya kumat.
"Aku akan panggil dokter untuk memeriksamu," ultimatum Mr. Frank akhirnya. "Dan peringatan untuk yang lain, jangan lakukan hal-hal seperti itu."
"Pernah dengar hukum karma? Itu menimpa Clint sekarang," ejek Bob.
Yang diejek cuma pasang muka masam.
"Listen, listen," seru Dave. "Hukum karma itu menimpa seseorang yang berbuat buruk. Kamu sangat belagu, CT. Mungkin Tuhan lagi menghukum kamu melalui insiden kacang-kacang mede itu."
"Sudahlah," Mr. Frank melerai. "Jam berapa sekarang?"
"Tiga sore," jawab Dave.
Mr. Frank menaikkan bahunya. "Ini waktunya school work tambahan."
"Kyaa!" pekik Clint walau suaranya hampir hilang.
Bob ikut-ikutan mengeluh.
"Ini semua demi kebaikan kalian!" tegas Mr. Frank, menepuk-nepuk tangannya seperti biasa.
"Tapi...?" Dave menggerutu dengan kalimat menggantung.
"Tidak ada tapi-tapian. Jika kalian sudah tua, lalu tidak ada orang lagi yang mau mendengar lagu kalian, apa yang akan terjadi, heh?"
"Tidak bisakah kami bersantai sejenak, Dad?" Bob masih berusaha menggebah keinginan ayahnya yang konsisten dengan jadual rutin akademik The Moffatts. "Kami kan masih capek."
"Tidak ada alasan. Nah, mumpung kalian masih bisa bersekolah walaupun sibuk bermusik, jadi jangan sia-siakan kesempatan itu."
"Tapi, Dad...." Ketiga anggota The Moffatts menyanggah bersamaan.
"Pendidikan merupakan bekal di hari tua," Mr. Frank menjelaskan dengan subtil. "Lha, apa kalian mau jadi gembel setelah tidak laku lagi?"
"Aku akan terus menyanyi," seru Dave. "Dan main kibor, tentu saja."
Bob dan Clint mengiyakan.
"Apa masih ada orang yang mengidolai The Moffatts tua yang sudah kakek-kakek?" desak Mr. Frank separo bertanya.
"Ten-tentu saja ada kalau kita konsisten menyanyi," jawab Dave ragu.
"Tidak ada perusahaan rekaman yang mau mengeluarkan album kalian. Bagaimana, coba?"
"Ya, menyanyi saja terus," ujar Dave apatis.
"Kalau tidak laku, ya sama juga bohong! Tidak ada orang yang mau membayar kalian Sang Pengamen Tua!"
"Aku akan jual kiborku," jawab Dave cepat.
"Memangnya jual kibor bisa menutup ongkos makanmu seumur hidup apa?" tanya Mr. Frank diplomatis.
Dave kemekmek. Mukanya langsung berubah menyadari dia kelepasan ngomong tadi.
"Tidak, tidak. Aku tidak akan pernah menjual kiborku. Never will," ralatnya.
"Kalau begitu, kalian harus belajar!" tandas Pak Frank, tersenyum menang.
The triple twins menghela napas. Ayah mereka selalu menang.
"Asal jangan matematika, please?" pinta Bob.
"Hari ini matematika. Kita akan membahas trigonometri. Lalu biologi kelautan serta sosiologi."
Bob memendam wajahnya di atas bantal besar yang tergeletak di ruang tengah. Dia paling benci matematika. Lebih baik belajar sejarah.
"Mana Scotty? Scott! School work time!" teriak sang ayah.
"Mungkin dia tertidur dikelilingi gitar-gitarnya itu," Bob memberitahu. "Aku menawarkan jasa lelang 'Feed The Children'. Dan Scott ternyata setuju, Dad. Sekarang dia sedang memilih gitar yang cocok."
"Benar dia mau begitu?" tanya Mr. Frank.
Bob mengangguk yakin.
"Nice boy," komentarnya. "Aku akan panggil Scott, dan menelepon Dokter Rich untuk memeriksa Clint. CT harus aku pastikan tidak apa-apa. Masalahnya, kita akan memulai tur keliling Amerika Serikat besok."
Mr. Frank berdiri. Kemudian dia menepuk lembut bahu Clint. Lantas masuk ke ruang dalam bermaksud memanggil putra sulungnya.
"Scott mau melelang gitarnya?!" Dave bertanya sambil meraih tetrisnya dan mulai bermain. "Rasanya mustahil dia mau melepas gitarnya. Bagaimana mungkin dia dapat serela itu kalau setiap hari setitik debu pun tidak diizinkannya hinggap di bodi gitar-gitanya itu. Heh, sekarang dia mau melelangnya?!"
"Mungkin Elvis sedang jatuh cinta," Clint menimbrung dengan suara yang tidak jelas. "Orang yang sedang jatuh cinta kan, biasanya kelakuannya jadi aneh!"
"Apa hubungannya? Sama sekali tidak nyambung!" protes Bob.
"Tentu saja kamu tidak tahu, karena kamu belum pernah jatuh cinta!" Clint membela argumennya dengan suara serak.
Bob terhenyak. Diamatinya Clint. Dia tidak yakin suara Clint dapat berubah mendadak begitu hanya lantaran kesedak kacang mede.
"Kamu pasti pura-pura. Kamu tidak sungguh-sungguh, kan? Tidak mungkin kesedak biji kacang suara kamu jadi berubah serak begitu. Kecuali jika kamu kesedak biji kedondong."
"Aku tidak pura-pura. Ini serius!" Clint membela diri. "Kamu kira gampang apa meniru suara orang lagi flu?!"
"Bisa saja. Apa sih di dunia ini yang tidak mungkin?" sahut Bob enteng.
"Tidak heran Dad memisahkan kalian untuk tidak tinggal dalam satu kamar. Hobi amat ya, bertengkar," Dave sok serius tanpa mengalihkan pandangan dari tetris.
Tangan Bob dan Clint spontan menunjuk Dave berbarengan. "Diam kamu, Big D. We don't need your comment," kata mereka, juga berbarengan.
Dave melotot. Dasar kembar identik, kata-kata yang mereka ucapkan kadang sama.
0 komentar:
Posting Komentar